BERAUSATU.ID, TANJUNG REDEB- Permasalahan seputar tenaga kerja lokal masih menjadi buah bibir masyarakat Kabupaten Berau.Pasalnya, belum terdapat aturan turunan berupa Peraturan Bupati (Perbup) yang mampu mengatur berbagai permasalahan yang terjadi di bidang ketenagakerjaan.
Ketiadaan perbup tersebut jelas berdampak pada banyaknya masalah di bidang ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan secara efektif.
Anggota Komisi I DPRD Berau, Rudi Mangunsong, menegaskan bahwa perda tenaga kerja lokal Berau belum diikuti oleh banyaknya perbup yang dikeluarkan. Padahal perda tersebut sudah lama dibuat. Bahkan, dari 530 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, produk regulasi terkait tenaga kerja lokal itu dibuat pertama kali oleh Kabupaten Berau.
“Sampai saat ini, perda tenaga kerja lokal masih setengah hati,” tegas Rudi pada Senin (10/4/2023).
Kehadiran perbup itu sangat penting, misalnya, untuk mengatur tenaga kerja lokal lulusan SLTA yang tidak mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih memilih untuk bekerja.
“Harus ada perbupnya. Misalnya, kita datakan berapa jumlah SLTA yang tidak mau lanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Minimal dalam 6 bulan sekian ribu orang harus bisa di BLK-kan,” jelasnya.
Secara khusus, keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) pun merupakan salah satu amanah dari perda tenaga kerja lokal. Karena itu, aturan turunan untuk mempertegas kebutuhan akan BLK itu pun patut diperhatikan.
Selama ini, biasanya BLK ini diadakan oleh perusahaan-perusahaan. Padahal seharusnya Pemda dalam hal ini Disnakertrans pun perlu memiliki BLK tersendiri.
Lebih dari itu, dinas terkait perlu memberikan pelatihan-pelatihan untuk para lulusan SLTA yang mau bekerja di sektor-sektor tertentu.
“Dulu kita ada kerja sama dengan VEDC (Vocational Education Development Center) Malang. Seluruh tenaga kerja produktif kita BLK-kan di Malang.
Sehingga, lulusan dari situ langsung masuk ke bidang usaha yang ada. Mereka itu betul-betul dibekali sehingga pada saat lulus langsung siap pakai. Namun, sekarang menghilang. Tidak tahu kenapa,” sambungnya.
Rudi pun menambahkan bahwa ketiadaan perbup terkait persoalan itu pada akhirnya membuat pemerintah kesulitan mengintervensi kebijakan perusahaan ketika merekrut para pekerja lokal.
Misalnya, standar usia minimum yang dibutuhkan, pengalaman kerja, serta skill yang diperlukan oleh pemberi kerja agar seorang pencari kerja dapat diterima di sebuah perusahaan.
Terkait usia kerja yang dibutuhkan perusahaan menurut Rudi tidak berhubungan dengan pendidikan. Sebab, usia kerja bukan diukur melalui standar pendidikan yang diperoleh.
“Selain itu, misalnya, dua tenaga kerja mengalami permasalahan industrial. Satu pekerja lokal dan satu pekerja bukan lokal. Perda kita seharusnya menyelamatkan dulu pekerja lokal itu,” bebernya.
Perusahaan pun perlu menyiasati agar tenaga kerja lokal di sekitar investasi sebuah perusahaan dapat diserap terlebih dahulu walaupun terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang dibuat oleh perusahaan.
“Misalnya, butuh tenaga mekanik, cari dulu di lokasi investasi itu. Kalau di Ring 1 tidak ada baru ke Ring 2 atau ke Ring 3. Jangan langsung di luar.
Jika tidak ada tenaga yang dibutuhkan, berikan terlebih dahulu pelatihan terhadap tenaga kerja lokal yang dibutuhkan itu,” sambungnya.
Perusahaan, lanjutnya, boleh membuat kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan. Namun, persyaratan yang dibuat juga jangan sampai tidak mampu meloloskan para tenaga kerja lokal.
Dalam konteks makro pembicaraan seputar tenaga kerja lokal, baginya, tak terlepas dari masalah perputaran uang. Kalau banyak tenaga kerja berasal dari luar Berau, tentu perputaran uang akan lari keluar Berau.
“Itulah kenapa kita berbicara tentang tenaga kerja lokal. Artinya pada saat dia berdomisili dengan KTP Berau dan punya rumah atau tempat tinggal di sini maka uang itu akan berputar di sini.
Coba datakan berapa puluh triliun investasi dalam satu bulan berputar untuk gaji pegawai. Berapa persen yang berputar di Berau,” tegasnya mengingatkan.
Rudi pun mengharapkan agar bila ada kekurangan terhadap perda yang dibuat, pemerintah daerah dalam hal dinas terkait mesti segera melapor ke pihak pembuat legislasi agar cepat direvisi.
“Revisi bukan pada pelemahan tapi pada penguatan. Yang tahu kemarin, bulan lalu, tahun lalu terhadap tenaga kerja lokal kan Disnaker.
Kalau permasalahannya belum mampu diselesaikan baru ke dewan. Kalau memang perda itu perlu diperbaiki, ya diperbaiki,” kuncinya. (*CT)