BERAUSATU.ID, TANJUNG REDEB – Permasalahan dua petani Tumbit Melayu yang tak kunjung mendapatkan ganti rugi dari salah satu perusahaan di Berau, berlanjut ke rapat dengar pendapat (RDP), bersama DPRD Berau.
Diterima oleh DPRD Berau, RDP dipimpin langsung oleh Wakil II Ketua DPRD Berau, Ahmad Rifai berlangsung lancar dan menghasilkan kesepakatan bersama untuk kembali melaksanakan pertemuan dengan pihak perusahaan, agar masalah ini bisa tuntas.
Dari pemaparan yang disampaikan baik dari pihak petani maupun Camat Teluk Bayur dan beberapa OPD (DLHK dan Dinas Perkebunan) yang hadir dalam RDP, permasalahan utama hanya pada pihak perusahaan.
“Kita akan mencarikan jadwal kosong lagi untuk memanggil kembali kepada pihak perusahaan, untuk mempertemukan dengan para petani, agar masalah ganti rugi ini bisa secepatnya selesai. Apalagi untuk besaran ganti ruginya juga sudah jelas,” ujar Ahmad Rifai, saat ditemui usai memimpin RDP, Selasa 9 Mei 2023.
Sementara itu salah satu anggota Badan Pemerintahan Kampung (BPK) Tumbit Melayu, Edwar.l, mengungkap Permasalahan lahan seluas 6 hektar milik dua petani yang berlarut-larut tanpa ada kejelasan sejak 2017 ini, dianggap sangat merugikan. Lantaran pengukuran untuk ganti rugi sudah dilakukan oleh perusahaan, namun tak ada kejelasan pemberian ganti rugi sampai saat ini.
“Kami petani sangat dirugikan akan hal ini. Karena lahan yang sudah diukur itu belum ada kejelasannya. Petani takut kalau menanami lahan itu nantinya tiba-tiba diambil oleh perusahaan, tetapi sampai sekarang lahan itu masih utuh dan terbengkalai,” paparnya.
Ditambahkan, Camat Teluk Bayur Endang Iriani, yang hadir dalam RDP juga menyebut jika permasalahan ini memang menjadi tanggungjawabnya. Karena dari total 30 petani, hanya ada dua orang saja yang belum mendapatkan ganti rugi dari perusahaan tersebut.
“Ini sudah di rapatkan juga dengan perusahaan dan bagian hukum Pemkab Berau pada 3 Mei 2023 kemarin. Dimana hasilnya pihak perusahaan sudah berkomitmen untuk memberikan pembayaran ganti rugi, tapi jangka waktunya belum tahu kapan,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, penundaan pembayaran ganti rugi itu dikarenakan adanya perbedaan harga. Misalnya harga di 2017 mungkin berbeda dari aspek kelayakan sosial, yang atas kesepakatan yakni Rp 15 ribu per meter untuk lahan kosong, dan Rp 16 ribu per meter untuk lahan yang ada tanamannya.
“Dan ini juga yang saya tegaskan kepada pihak perusahaan, karena pada dasarnya CSR perusahaan wajib diberikan kepada petani juga, mulai dari benih, pupuk dan pemasaran hasil panennya. Termasuk juga untuk ganti rugi lahan masyarakat yang digunakan oleh perusahaan,” tutupnya. (*IAH/ADV)